Jumat, 16 Desember 2016

Pemikir Ekonomi Islam Kontemporer : Abu Ubaid dan Yahya bin Umar

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali sejak Muhammad saw dipilih menjadi seorang Rasul. Rasulullah saw mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata ekonomi negara. Di dalam tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarawan, serta filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabad abad yang lampau.
Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga mereka dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.
Dilihat dari waktu dimana para pemikir-pemikir ekonomi islam hidup, dapat dibagi menjadi dua jenis pemikir, yaitu : para pemikir yang hidup sebelum abad 20 yang disebut pemikir ekonomi islam klasik dan pemikir-pemikir yang hidup setelah abad 20 yang disebut sebagai pemikir ekonomi islam kontemporer. Adapun sedikit pembahasan disini penulis mencoba membahas salah seorang pemikir ekonomi islam klasik, yaitu Abu Ubaid dan Yahya bin Umar yang hidup pada masa (150-224 H)-(213-289).
B.  Rumusan Masalah
1. Siapa Abu Ubaid dan Yahya bin Umar itu?
2. Bagaimana pandangan ekonomi menurut Abu Ubaid dan Yahya bin Umar?
C. Tujuan
1.  Mengetahui biografi Abu Ubaid dan Yahya bin Umar.
2.  Mengetahui konsep atau pandangan ekonomi menurut Abu Ubaid dan Yahya bin Umar.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
1.    Riwayat Hidup
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-harawi Al-Azadi,ia lahir pada tahun 150H di kota Harrah,khurrasan, sebelah barat laut Alghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azaad. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti kufah,basrah dan bagdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab,qira’at,tafsir,hadis dan fiqih. Pada tahun 192 H.Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur dimasa pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid,mengangkat Abu Ubaid sebagai Qadi(Hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H, setelah itu penulis kitab Al- Amwal ini tinggal di Bagdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 ,setelah berhaji,ia menetap di Makkah sampai wafatnya.ia meninggal pada tahun 224H.
2.    Latar Belakang dan Corak Pemikiran
Abu Ubaid seorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa parsi ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit-banyak menguasai bahasa tersebut.
Karena sering terjadi pengutipan kata-kata Amr dalam Kitab al-amwal, tampaknya,pemikiran-pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn Amr Al-Awza’i,serta ulama Suriah lainnya semasa ia menjaadi qasi di Tarsus, kemungkinan ini, antaralain dapat ditelusuri dan pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap permasalahan militer,politik dan fiscal yang dihadapi pemerintah didaerah Tarsus.
Dalam hal ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan daripada teknik efisiensi pengelolahannya, sebagai contoh, Abu Ubaid lebih tertarik bahas masalah keadilan redistributive dari sisi ‘Apa’ daripada ‘bagaimana’.
Filosofi yang dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan social,politik,dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya sebuah pendekatan yang bersifat professional dan teknokrat yang bersandar kepada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat yang beradab, pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia dan di akhirat,baik  yang bersifat individual maupun social.
Berdasarkan hal tersebut di atas,Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendikiawan muslim terkemuka pada awal abad ketiga hijriah(abad kesembilan masehi) yang menetapkan system revitalisi sistem perekonomian berdasarkan Al-quran dan Hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi islami, yang berakar pada ajaran Alquran dan Hadis, mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan dengan kuat dalam pola pemikiran Abu Ubaid.

3.    Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
a)    Filosofi Hukum dari sisi Ekonomi
Dalam hal ini Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, mengimplementasikan dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan social. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu,public,dan Negara; jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan public, ia akan berpihak pada kepentingan public
Tulisan-tulisan Abu Ubaid yang lahir pada masa keemasan Dinasti Abbasiyah menitikberatkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu kebijakan atau wewenangya dalam memutuskan suatu perkara selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan kepentingan kaum Muslimin. Berdasarkan hal ini, Abu Ubaid, menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada Negara ataupun langsung kepada penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah dan jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Disamping itu Abu Ubaid mengakui otoritas penguasa dalam memutuskan  demi kepentingan public, apakah akan membagikan tanah taklukan kepada para penakluk atau membiarkan kepemilikannya tetap pada penduduk setempat,lebih jauh se telah mengungkapkan alokasi khums,ia menyatakan bahwa seseorang penguasa yang adil dapat memperluasberbagai batasan yang telah ditentukan apabilakepentingan public sangat mendesak.
Di sisi lain Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan Negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain,perbendaharaan Negara harus digunakan untuk kepentingan public. Ketika membahas tentang tarif atau presentase untuk kharajdan jizyah, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan financial modern disebut sebagai capcity to pay dengan kepentingan dari golongan muslim yang berhak menerimanya. Kaum muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non-muslim melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.
Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi ketidakmampuan membayar. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa jika seorang penduduk non-muslim mengajukan permohonan bebas utang dan dibenarkan oleh saksi muslim, barang perdangangan penduduk non-muslim tersebut yang setara dengan jumlah utangnya akan dibebaskan dari bea cukai (duty-free). Di samping itu, abu ubaid berupaya untuk tidak menyiksa masyarakatnya dan, di lain sisi, masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan sepantasnya. Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau favoritism, penindasan dalam pepajakan serta upaya penghindaran pajak (tax evasion). Pandangan Abu Ubaid yang tidak merujuk pada tingkat kharaj yang diterapkan oleh Khalifah Umar ataupun pengamatanya terhadap permasalahan yang timbul dari kebijakan peningkatan dan penurunan tingkat kharaj berdasarkan situasi dan kondisi, menunjukkan bahwa Abu Ubaid mengadopsi kaidah fiqih “la yunkaru taghaiyyubal-fatwa bi taghaiyyuril azminati” (keberagaman aturan atau hokum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Nn melalui suatu ijtihad.
b)   Dikatomi Badui – Urban
Pembahasan mengenai dikatomi badui-urban dilakuakn Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai’. Abu Ubaid menegaskan bahwa, bertentangan dengan kaum badui, kaum urban(perkotaan):
1.    Ikut serta dalam keberlangsungan Negara dengan berbagai kewajiban administrative dari semua kaum muslimin
2.    Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka
3.    Menggalakkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar Alquran dan Sunnah serta penyebaran keunggulannya
4.    Memberikan kontribusi terhadap keselarasan social melalui pembelajaran dan penerapan hubud
5.    Memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah
Singkatnya, disamping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu Negara Islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hokum, dan kasih sayang. Karakterisitik tersebut di atas hanya diberikan oleh Allah Swt. kepada kaum urban (perkotaan). Kaum badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar yang telah dilakukan kaum urban, tidak bisa memperoleh manfaat pendapatan fai sebanyak kaum urban. Dalam hal ini, kaum badui tidak  berhak menerima tunjangan dan provinsi dari Negara. Mereka fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi kritis, yakni ketika terjadi invasi musuh, kemarau panjang (ja’ihah) dan kerusuhan sipil (fatq). Abu Ubaid memperluas cakupan kaum badui dengan memasukkan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
Di sisi lain, ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewas terhadap tunjangan, walaupun kecil, yang berasal dari pendapatan fai. Pemberian hak ini dilakukan mengingat anak-anak tersebut merupakan penyumbah potensial terhadap kewajiban publikterkait. Lebih lanjut, Abu Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzaq (jatah), yang bukan untuk tunjangan. Dari semua ini, terlihat bahwa Abu Ubaid memebedakan anatar gaya hidup kaum badui dengan kultur menetap kaum urban dan membangun fondasi masyarakat muslim berdasarkan martabat kaum urban, solidaritas serta kerja sama merasakan komitmen dan kohesi sosial berorientasiurban, vertical dan horizontal, sebagai unsure esensial dari stabilitas sosio-politik dan makroekonomi. Mekanisme yang disebut di atas, meminjam perkotaan lebih unggul dan dominan disbanding kehidupan nomaden. Namun demikian, cukup mengejutkan bahwa Abu Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya seta berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labor), surplus produksi, pertukaran, dan lainnya yang berkaitan dengan organisasi perkotaan untuk kerja  sama. Sebenarnya, dalam hal ini, analisis Abu ubaid lebih kepada sosio-politis disbanding ekonomi. Dari uraian di atas, tampak bahwa Abu Ubaid selalu memelihara dan menjada keseimbangan anatara hak dengan kewajiban masyarakat.
c)    Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
 Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan public. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implicit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan, seperti iqta’ (enfenoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan perpajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan kemudian diahlikan kepemilikannya oleh penguasa.
Bahkan tanah guruan yang termasuk dalam hima’ pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati oleh orang lain melalui proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diberi pengairan, jika tandus, atau menjadi kering, atau rawa-rawa. Adalah tidak cukup untuk memiliki sepetak ‘tanah mati’ dan apa yang terkandung di dalamnya dengan hanya menggali sebuah sumur atau sauran.setelah itu, jika tidak diberdayakan atau ditanami selama tiga tahun berturut-turut, hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati oleh orang lain.
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya public, seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan Negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
d)   Kepentingan Kebutuhan
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di anatar delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun, pada saat yang bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau harta lainnya yang setara, di samping baju, pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggapnya sebagai suatu kebutuhan standar hidup minimum. Di sisi lain, biasanya 200 dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib zakat, sebagai “orang kaya” sehingga mengenakan kewajiban zakat terhadap orang tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu:
1.    Kalangan kaya yang terkena wajib zakat,
2.    Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat,
3.    Kalangan penerima zakat
Berkaitan dengan disribusi kekayaan melalui zakat, secara umum, Abu Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (li kulli wahidin hasba hajatihi). Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak) yang diberikan kepada para pengumpulannya (amil), para prinsipnya, ia lebih cenderung pada prinsip “bagi setap orang adalah seuai dengan haknya.
e)    Fungsi uang
  Pada prinsipnya, abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan meia pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan:
 “Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungannya yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu (infaq)”
Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunujukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampaknya, Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relative konstannya nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut juga digunakan sebagai komoditas, nilai dari keduannya akan dapat berubah-ubah pula, karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan dua  peran yang berbeda, yakni sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya. Di samping itu, sekalipun tidak menyebutkannya secara jelas, Abu Ubaid secara implicit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpanan nilai (store of value) ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat.
Salah satau ciri khas kitab al-amwal di antara kitab-kitab lain yang membahas tentang keuangan public (public finance) adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau benda, dalam satu bab khusus. Di dalam bab ini, Abu Ubaid juga menceritakan tentang usaha Khalifah Abdul Al_Malik ibn Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.
B.  Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar
a)   Riwayat Hidup
Yahya bin Umar merupakan salah satu fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al Kannani Al Andalusi ini lahir pada tahun 213 H. dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Yahya bin Umar berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada awalnya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat Abdullahbin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al-Qasim. Setelah itu, ia pindah ke Hijaz dan berguru, di antaranya, kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri. Kemudian Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi.[1] Setelah pendidikannya selesai ia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan.
Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik anatar fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah disebabkan persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik dengan cara memenjarakan maupun membunuh, atau menjabat qadi di negeri itu. Setelah Ibnu ‘Abdun turun  dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilitetpa tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H.(901 M.).[2]
b)   Kitab Ahkam al Suq
Semasa hidup Yahya bin Umar di samping aktif mengajar dia juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz. Beberapa karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtishar al Mustakhrijah fi al fiqh al Maliki dan kitab Ahkam al Suq.[3]
Kitab ahkam al suq yang asal mulanya dari benua Afrika pada abad ketiga hijriyah ini merupakan kitab pertama di dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan–pembahasan fiqh pada umumnya, salah satu hal yang memengaruhinya adalah situasi kota Qairuwan. Pada saat itu, kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H dan para penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim Al Muhibli hingga sebelum masa Ja’far al Manshur yang sangat memerhatikan keberadaan institusi pasar.
Dengan demikian, pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua keistimawaan, yaitu:
a.Keberadaan institusi pasar mendapat perhatian khusus dan pengaturan yang memadai dari para penguasa.
b.Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani berbagai permasalahan pasar.
Tentang kitab Ahkam al Suq, Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu, pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu wilayah, kedua: hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuaan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen. Dengan demikian, kitan Ahkam al Suq sebenarnya merupakan penjelasan dari jawaban kedua persoalan tersebut.
c)    Pemikiran Ekonomi
Penekanan pemikiran ekonomi Yahya bin Umar adalah pada masalah penetapan harga (al-tas’ir). Ia berpendapat bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan. Hujjahnya adalah mengenai kisah para sahabat yang meminta Rosulullah untuk menetapkan harga karena melonjaknya harga barang namun ditolak oleh Rosulullah dengan alasan Allah-lah yang mengusai harga. Dalam konteks ini, penetapan harga yang dilarang oleh Yahya bin Umar adalah kenaikan harga karena interaksi permintaan dan penawaran. Namun jika harga melonjak karena human error maka pemerintah mempunyai hak intervensi untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih luas lagi mengenai larangan penetapan harga, Yahya bin Umar mengijinkan pemerintah melakukan intervensi apabila :
a.    Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang dibutuhkan masyarakat sehingga dapat merusak mekanisme pasar.
b.    Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulakan persaingan tidak sehat dan dapat mengacaukan stabilitas harga.
d)   Wawasan Modern Teori Yahya bin Umar
Sekalipun tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam al Suq, adalah mengenai hukum-hukum pasar, pada dasarnya, konsep Yahya bin Umar lebih banyak terkait dengan permasalahan ihtikar dan siyasah al ighraq. Dalam ilmu ekonomi kontemporer, kedua hal tersebut masing-masing dikenal dengan istilah monopoly’s rent-seeking dan dumping. Berikut adalah wawasan modern Yahya bin Umar yang dikemukakan pada masanya :
1.    Ihtikar (Monopoly’s Rent-Seeking).
Islam secara tegas melarang praktek ihtikar, yakni mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Sehingga ihtikar dapat mengakibatkan terganggunya mekanisme pasar, di mana penjual akan menjual sedikit barang dagangannya, sementara permintaan terhadap barang tersebut sangat banyak, sehingga di pasar terjadi kelangkaan barang. Berdasarkan hukum ekonomi, maka: ”Semakin sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin berkurang.”
Dalam kondisi seperti ini produsen dapat menjual barangnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari keuntungan normal (super normal profit), sementara konsumen akan menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar masyarakat akan dirugikan oleh ulah sekelompok kecil manusia. Oleh karena itu, dalam pasar monopoli seorang produsen dapat bertindak sebagai price maker (penentu harga).
Para ulama sepakat bahwa illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi manusia. Sedangkan kemudlaratan merupakan sesuatu yang harus dihilangkan. Implikasi lebih jauh, ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia, sebab konsumen masih harus membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos marjinal. Dengan demikian praktek ihtikar akan menghambat kesejahteraan umat manusia. Padahal salah satu tujuan dari sistem ekonomi, apapun bentuknya adalah kesejahteraan umat manusia. Dari definisi di atas, kita dapat menyimpulkan  bahwa sebuah aktivitas ekonomi baru akan dapat dikatakan sebagai ihtikar jika memenuhi setidaknya dua syarat berikut:
a.       Objek penimbunan merupakan barang-barang kebutuhan masyarakat.
b.       Tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan di atas keuntungan normal.
Dengan demikian, ihtikar tidak identik dengan monopoli ataupun penimbunan. Islam tidak melarang seseorang melakukan aktivitas bisnis, baik dalam kondisi dia merupakan satu-satunya penjual (monopoli) ataupun ada penjual lain. Islam juga tidak melarang seseorang menyimpan stock barang untuk keperluan persediaan.
2.    Siyasah al-Ighraq (Dumping Policy)
Siyasah al-Ighraq (dumping) adalah sebuah aktivitas perdagangan yang bertujuan untuk mencari keuntungan dengan jalan menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari harga yang berlaku di pasaran. Perilaku seperti ini secara tegas dilarang oleh agama karena dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat.
Terkadang perusahaan melakukan kebijakan penetapan harga yang berbeda untuk produk yang sama di setiap pasar yang berbeda. Secara umum praktik pengenaan harga yang berbeda terhadap pembelian yang berbeda disebut diskriminsi harga (price discrimination). Dalam perdagangan internasional, bentuk diskriminsi harga yang biasa dilakukan adalah dumping, yang merupkan praktik pengenaan harga dimana perusahaan mengenakan harga yang lebih rendah terhadap barang-barang yang diekspor dari pada barang-barang yang sama yang dijual di pasar domestic. Dumping merupakan sebuah kebijakan perdagangan yang kontroversial dan secara luas dikenal sebagai sebuah praktik yang tidak fair karena menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan merusk mekanisme pasar.
Dalam praktiknya, dumping akan dipandang sebagai sebuah kebijakan perdagangan yang lebih menguntunkan jika ditemukan oleh dua hal, yaitu pertama,industri tersebut bersifat kompetitif tidak sempurna, sehingga perusahaan dapat bertindak sebagai price marker bukan sebagai price taker; kedua, pasar harus tersegmentasi, sehingga penduduk di dalam negeri tidak dapat denagan mudah membeli barang-barang yang akan diekpor.
3.    Dumping Respirokal
Analisis dumping tersebut memberikan kesan bahwa diskriminasi harga (price discrimination) akan dapat meningkatkan perdagangan luar negeri. Namun, bila ditelaah lebih jauh, akan tampak jelas bahwa kesan tersebut tidak selamanya benar. Anggap saja ada dua perusahaan monopoli yang masing-masing memproduksi barang yang sama, satu di dalam negeri dan satu lainnya di luar negeri. Untuk menyederhanakan analisis ini, asumsikan bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki marginal cost yang sama. Anggap juga terdapat beberapa biaya transportasi antara kedua pasar tersebut sehingga, jika perusahaan itu mengenakan harga yang sama, tidak akan ada perdagangan.
Jika kita memasukkan kemungkinan terjadinya praktik dumping, perdagangan dapat saja tetap terjadi. Dalam hal ini, setiap perusahaan akan membatasi jumlah barang yang akan dijual di pasar domestic, karena volume penjualan yang lebih besar akan menurunkan harga yang telah ada di pasar domestic. Apabila mampu menjual sejumlah kecil di pasar lain, perusahaan akan menambah keuntungannya sekalipun harganyalebih rendah daripada yang ada di pasar domestic, karena efek negative terhadap harga dari penjualan yang ada akan terkena pada perusahaan lain, bukan perusahaan itu sendiri. Dengan demikian, setipa perusahaan memiliki daya tarik untuk “menyerbu” pasar lain, menjual sejumlah kecil unit pada tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga yang berlaku di pasar domestic, akan tetapi tetap di atas marginal cost.
Apabila kedua perusahaan tersebut melakukan hal ini, yang berarti terjadi reciprocal dumping, hasilnya akan timbul perdagangan yang tidak memiliki perbedaan harga suatu barang di kedua pasar, sekalipun terdapat biaya-biaya transportasi. Bahkan lebih dari itu, secara khusus, akan terdapat dua jalur perdagangan dalam produk yang sama. Sebagai contoh, sebuah pabrik semen di Negara A melakukan ekspor ke Negara B dan, sebaliknya, pabrik semen di Negara B melakukan ekspor ke Negara A. Sekalipun contoh tersebut terlihat ekstrem dan pada kenyataannya jarang terjadi dalam dunia perdagangan internasional, hal ini menunjukkan bahwa reciprocal dumping tidak dapat meningkatkan volume perdagangan, bahkan merupakan perbuatan yang sia-sia.
4.    Penetapan Harga
Penetapan harga merupakan tema sentral dalam kitab al-Ahkam al-Suq. Imam Yahya bin Umar berulang kali membahasnya di berbagai tempat yang berbeda. Tampaknya ia ingin menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi. Sedangkan pembagian terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat.
Iamam Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi pasar, kecuali dalam dua hal yaitu: pertama, para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentunya yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehigga dapat menimbulkan kemudharatan serta merusak mekanisme pasar. Kedua, para pedagang melakukan praktik banting harga yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan  stabilitas harga pasar.
5.    Mekanisme Harga
Kebebasan tersebut juga berarti bahwa harga dalam pandangan Yahya bin Umar, ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Namun, ia menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah pemerintah berhak untuk melakukan intervensi pasar ketika terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah berhak mengeluarkan pelaku tindakan itu dari pasar. Hukuman ini berarti melarang pelaku melakukan aktifitas ekonominya di pasar, bukan merupakan hukum maliyyah.
Menurut Dr. Rifa’at al-Aududi, pernyataan Imam Yahya bin Umar yang melarang praktik banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi murah, akan tetapi pelanggaran tersebut dimaksudkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Jika dilihat dari sisi masa hidupnya yang relatif dekat dengan masa hidup Rasulullah saw. Wawasan pengetahuannya serta isi, format dan metodologi kitab al-amwal, Abu Ubaid pantas disebut sebagai pemimpin dari “pemikiran ekonomi mazhab klasik” diantara para penulis tentang keuangan publik.
Karya Abu Ubaid yang terbesar dan terkenal adalah kitab al-amwal dalam bidang fikih. KitabAl-Amwal, Abu Ubaid tampak jelas berusaha untuk mengertikulasikan ajaran islam dalam aktivitas kehidupan umat manusia sehari-hari. Inti dari doktrinnya adalah pembelaan terhadap pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata berdasarkan prinsip-prinsip keadilan diskal dengan sebaik dan sesempurna mungkin. Menurut Abu Ubaid, pemberian hibah dalam berbagai bentuknya yang dilakukan Negara atau penguasa terhadap seseorang atau sekelompok orang harus berdasarkan pada besarnya pengabdian yang diberikan kepada masyarakat. Dengan kata lain, Abu Ubaid ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya harus dihindari Negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus mengatur harta kekayaan Negara agar selalu dimanfaatkan demi kepentingan bersam dan mengwasi hak kepemilikan pribadi agar tidak disalahgunakan sehingga mengganggu atau mengurangi manfaat bagi masyarakat umum.
Sedangkan karya Yahya bin Umar fokus perhatiannya tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksi dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Yang mana hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu wilayah, serta hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuaan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen.
























DA\FTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman. 2003. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: IIIT-Indonesia.
Chamid, Nur. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Karim, Adiwarman Azwar. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.




[1]Nur Chamid, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.197.
[2] Nur Chamid, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.19
[3]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal.283.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar